TIMES KALTIM, JAKARTA – Ruang utama Masjid Istiqlal Jakarta kembali dipenuhi puluhan ribu jamaah dalam Kajian Qabla Jum’ah, Jumat (16/5/2025 yang menghadirkan Dr. KH Nasrulloh Afandi, Lc, MA atau yang akrab disapa Gus Nasrul.
Dalam forum rutin bertema Implementasi Hadits, Nabi dalam Kehidupan Modern itu, pakar Maqashid Syariah Indonesia tersebut menggagas dua konsep penting yang sangat kontekstual: fikih lalu lintas dan fikih media sosial.
Fikih Lalu Lintas
Dengan pendekatan maqashid syariah yang kuat, Gus Nasrul menekankan pentingnya menerapkan hadits Nabi dalam kehidupan modern. Ia memulai kajiannya dengan mengutip sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA:
"Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang. Cabang iman tertinggi adalah mengucapkan ‘Laa ilaha illallaah’, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Rasa malu juga bagian dari iman." (HR. Muslim)
“Dari uraian hadits ini, ada sejumlah nilai mendalam yang perlu dikaji dan diterapkan dalam kehidupan kita hari ini,” tutur Gus Nasrul yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama MUI Pusat.
Salah satu pokok bahasan utama Gus Nasrul adalah imathotul adza anit-thariq - menyingkirkan gangguan dari jalan umum.
Ia mengutip penjelasan ulama besar seperti Imam al-Manawi dan Imam ash-Shon’ani, yang menyebut gangguan jalan tak hanya benda fisik, tapi juga sikap, ucapan, dan tindakan yang mengganggu pengguna jalan.
“Dulu para ulama memahami ini sebagai menyingkirkan duri dari jalan. Karena di masa itu, duri adalah gangguan nyata di jalan desa, ketika banyak orang masih bertelanjang kaki,” jelas Gus Nasrul, yang juga Pengasuh Pesantren Balekambang, Jepara.
Dalam konteks modern, makna gangguan di jalan menjadi lebih kompleks. “Sekarang ada balapan liar, knalpot brong, suara klakson yang memekakkan telinga, hingga menutup jalan umum untuk hajatan pribadi. Semua itu termasuk al-ada fit-thariq,” tegasnya.
Gus Nasrul juga menyoroti peran aparat kepolisian dalam mengatur lalu lintas. “Polisi yang bekerja dengan ikhlas untuk ketertiban jalan raya itu bagian dari ibadah. Mereka ikut menjaga maqashid syariah dalam ranah publik,” ujarnya.
Fikih Medsos
Tak hanya di jalan raya, Gus Nasrul mengembangkan konsep fikih ini ke dunia digital. Ia membahas pentingnya memahami makna kalimat Laa ilaha illallaah, yang dalam hadits disebut sebagai cabang iman tertinggi.
“Hadits menyebut ucapan (qaulun), bukan tulisan (kitabatun). Kalimat tauhid harus diucapkan, bukan sekadar ditulis di medsos, stiker mobil, atau dinding rumah demi follower dan cuan. Itu bukan implementasi hadits ini,” tegas alumnus Universitas Al-Qarawiyyin, Maroko, tersebut.
Dalam kitab At-Ta’rifat, Imam Al-Jurjani mendefinisikan iman sebagai “membenarkan dengan hati dan mengucapkannya dengan lisan.” Gus Nasrul menegaskan bahwa aspek lisan itu sangat penting, bukan hanya tampilan visual.
Ia juga mengingatkan bahwa hadits menyebut rasa malu sebagai bagian dari iman. “Rasa malu itu ada dua: kepada Allah, yaitu dengan menaati perintah-Nya, dan kepada manusia, dengan menjauhi hal-hal yang tidak pantas,” katanya. Ia bahkan mengangkat tema “Indonesia Darurat Rasa Malu” dalam khutbah Jumat di UNNES, Semarang, awal Mei lalu.
Sebagai penutup, Gus Nasrul mengajak jamaah berpikir kritis di era digital. “Bayangkan kalau zaman Nabi sudah ada internet. Pasti banyak hoaks dan hadits palsu disebarkan. Faktanya, tanpa internet saja, hadits palsu sudah banyak beredar kala itu,” tutupnya.
Gagasan Gus Nasrul tentang fikih lalu lintas dan fikih media sosial adalah upaya serius dalam menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam konteks kekinian. Pendekatannya yang menyentuh ruang publik dan etika digital menjadi sangat relevan di tengah tantangan zaman modern. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Gus Nasrul Gagas Fikih Lalu Lintas dan Fikih Medsos di Masjid Istiqlal
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |