TIMES KALTIM, KALIMANTAN TIMUR – Isu kelangkaan gas LPG kerap menjadi perhatian utama masyarakat. Setiap kali terjadi lonjakan harga atau kesulitan mendapatkan LPG di pasaran, media memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik.
Namun, bagaimana sebenarnya komunikasi media dalam menyampaikan isu ini? Apakah media berperan sebagai penyampai informasi yang objektif, atau justru turut memperkeruh situasi?
Media memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang akurat dan tidak menimbulkan kepanikan. Namun, dalam beberapa kasus, pemberitaan yang berlebihan dan sensasional dapat memperburuk keadaan.
Judul-judul berita seperti "LPG Langka, Masyarakat Panik!" atau "Antrian Panjang Demi Gas, Apa yang Terjadi?" sering kali memicu reaksi berlebihan dari masyarakat, yang berujung pada panic buying.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menegaskan bahwa pasokan LPG tetap aman dan kelangkaan hanya terjadi secara lokal akibat kendala distribusi.
"Masyarakat tidak perlu panik karena pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah untuk memastikan distribusi LPG tetap lancar," ujar Arifin dalam konferensi pers baru-baru ini.
Namun, pernyataan ini sering kali kalah gaung dengan pemberitaan media yang lebih menyoroti aspek negatif dari situasi tersebut.
Salah satu tantangan utama dalam isu ini adalah komunikasi pemerintah yang kurang efektif dalam menangkal kepanikan publik. Pakar komunikasi krisis, Prof. Rhenald Kasali, menekankan pentingnya transparansi dalam komunikasi pemerintah.
"Pemerintah harus proaktif dalam memberikan informasi yang jelas, bukan sekadar merespons setelah terjadi kepanikan. Selain itu, media sosial juga harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menyampaikan informasi yang valid," ujar Rhenald.
Media memiliki peran ganda: selain menyampaikan fakta, mereka juga harus memastikan bahwa informasi yang diberikan tidak menyesatkan atau menimbulkan keresahan.
Pengamat media, Dr. Ade Armando, menyoroti pentingnya kode etik jurnalistik dalam peliputan isu LPG. "Jurnalis harus berimbang dalam melaporkan krisis. Jangan hanya mencari sensasi, tetapi juga menghadirkan solusi," kata Ade.
Masyarakat juga memiliki tanggung jawab dalam menyikapi pemberitaan media. Menyaring informasi, tidak mudah terpancing dengan berita yang belum jelas sumbernya, dan memeriksa fakta sebelum menyebarkan informasi adalah langkah yang harus diambil.
Media sosial sering kali menjadi ruang berkembangnya hoaks terkait LPG, seperti klaim bahwa gas akan hilang dari pasaran dalam waktu dekat, yang akhirnya memicu kepanikan berlebihan.
Media memegang peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap isu kelangkaan LPG. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara pemberitaan yang informatif dan upaya untuk meredam kepanikan.
Pemerintah juga harus meningkatkan komunikasi krisisnya agar masyarakat lebih percaya pada informasi resmi dibandingkan spekulasi di media sosial.
Sementara itu, masyarakat harus lebih kritis dalam menyerap informasi agar tidak mudah terprovokasi. Dengan komunikasi yang baik dari semua pihak, isu kelangkaan LPG dapat dikelola dengan lebih bijak dan efektif.
***
*) Oleh : Ziya Ibrizah, S.I.Kom., M.I.Kom
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |