TIMES KALTIM, KALIMANTAN TIMUR – Di era digital yang serba terhubung, ruang maya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, di balik kemudahan komunikasi dan pertukaran informasi, ruang digital juga menjadi ladang subur bagi perundungan, tekanan sosial, dan kekerasan verbal. Dunia yang semestinya menjadi wadah ekspresi justru menjadi ruang yang bising, penuh kebisingan emosional dan konflik psikologis.
Menurut We Are Social dan Meltwater (2024), jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai lebih dari 212 juta jiwa, dengan media sosial menjadi platform utama konsumsi informasi dan interaksi, termasuk bagi remaja dan dewasa muda. Namun, intensitas keterlibatan ini membawa risiko besar terhadap kesehatan mental.
Data dari UNICEF Indonesia (2022) menunjukkan bahwa 45% remaja pernah mengalami perundungan daring (cyberbullying), baik melalui komentar negatif, penyebaran informasi pribadi, hingga intimidasi di grup percakapan.
Hal ini berdampak serius pada psikologis korban. Laporan WHO juga mengungkapkan bahwa perundungan berulang kali dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, bahkan tindakan bunuh diri.
Kementerian Kesehatan RI (2023) melaporkan bahwa sekitar 20 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa, dan lebih dari 14 juta di antaranya mengalami depresi. Bahkan, lebih dari 500 ribu kasus depresi berat tercatat setiap tahun, meningkat signifikan pasca-pandemi dan dipengaruhi oleh tingginya tekanan sosial dari media digital.
Laporan Global Burden of Disease (GBD) dan WHO (2023) menyatakan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mencapai 9.000 kasus per tahun, atau sekitar 25 kasus per hari. Bunuh diri kini menjadi penyebab kematian kedua terbanyak pada kelompok usia 15–29 tahun, dan media sosial sering menjadi salah satu pemicunya, baik melalui perundungan daring, isolasi sosial, maupun tekanan untuk "tampak sempurna".
Dr. Sherry Turkle, psikolog dan peneliti dari MIT, menekankan bahwa di dunia digital, kita seringkali “terhubung tanpa kehadiran” berinteraksi tanpa empati. Ini menjelaskan mengapa komentar-komentar negatif kerap dilontarkan begitu saja tanpa menyadari dampaknya bagi psikologis orang lain.
Di Indonesia, fenomena ini diperparah oleh rendahnya literasi etika digital. Banyak pengguna internet yang belum memiliki kesadaran akan tanggung jawab sosial dalam berkomunikasi secara daring. Akibatnya, ruang digital dipenuhi oleh ujaran kebencian, hoaks, dan perundungan.
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, telah menyatakan bahwa kesehatan mental kini menjadi isu prioritas nasional. Ia menekankan pentingnya keterlibatan lintas sektor pendidikan, teknologi, dan keluarga untuk membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga kesehatan jiwa di era digital.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menyatakan bahwa pemerintah tengah memperkuat program Literasi Digital Nasional, yang salah satu fokusnya adalah menanamkan etika sosial dan empati dalam berinteraksi daring.
Namun, peran utama tetap berada di tangan masyarakat. Kita semua adalah aktor dalam ruang digital. Oleh karena itu, penting untuk mengedepankan nilai-nilai etis seperti saling menghargai, tidak menyebarkan informasi pribadi, tidak mengomentari fisik orang lain, serta berpikir sebelum berbicara meski hanya lewat tombol dan layar.
Platform media sosial juga perlu turut bertanggung jawab. Fitur pelaporan, pemantauan komentar, dan algoritma konten harus lebih proaktif dalam mencegah penyebaran konten negatif. Teknologi yang kita bangun harus memanusiakan, bukan melukai.
Etika sosial di ruang digital bukan pilihan, melainkan keharusan. Kita tidak bisa lagi menganggap ruang maya sebagai dunia yang terpisah dari dunia nyata. Luka di dunia digital bisa terasa nyata, bahkan mematikan.
Mari bersama-sama menenangkan ruang digital yang bising ini dengan empati, kesadaran, dan tanggung jawab sosial. Sebab, satu komentar positif bisa menyelamatkan, sementara satu komentar negatif bisa menghancurkan hidup seseorang.
***
*) Oleh : Rosyid Nurrohman, S.M., M.AB., Dosen Administrasi Bisnis, Universitas Mulawarman.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
_________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |